MMC RUMAH SATU DUA
WWW.RUMAH12.COM
AUTO TAYANG DI 29 WEBSITE
Terima titip jual aset pribadi Dan titip jual aset developer gratis
087887232777
081235534599
Selamat Pagi kawan2 terkasih….semoga kita selalu dimudahkan, dilancarkan, dilapangkan, dan disukseskan dalam beraktivitas sehari2…serta selalu diberikan kesehatan lahir dan batin….
Marketing On Wednesday #28
020322; By Kurniawan Muhammad, Marketing Practitioner
Marketing By Fear
Sudah hampir empat tahun saya tidak bertemu dengan teman saya ini. Dia kini jauh lebih langsing. Padahal, empat tahun lalu masih tambun. Terutama perutnya. Saya penasaran, kok bisa begitu langsingnya sekarang. Apakah rajin bersepeda? Ternyata jawabannya “tidak”. Rajin olahraga “iya”, tapi fitness yang dia lakukan. Ditambah mengkonsumsi sejenis suplemen yang namanya sudah terkenal itu. Yang katanya bisa untuk melangsingkan tubuh. Dan teman saya itu mengaku sudah membuktikannya.
Saya pun ditawari, setelah dia melihat perut saya yang agak buncit. Ketika saya tanya harga suplemen yang dia tawarkan, yang mencapai jutaan rupiah sekali beli itu, saya tidak tertarik. Apakah karena harganya? Iya. Tapi sesungguhnya bukan semata-mata karena itu. Karena saya lebih suka yang alamiah.
Dalam soal gaya hidup, termasuk pola makan, saya lebih suka menerapkan prinsip NBI. Yakni: Nikmati, Batasi, Imbangi. Nikmatilah apa yang boleh untuk dinikmati. Jadi, saya termasuk yang makan apa saja asal halal. Tapi, harus dibatasi. Dibatasi volume makannya, dan dibatasi frekwensi makannya. Lalu diimbangi dengan olahraga. Saya lebih suka memilih olah raga yang murah meriah. Jogging. Jalan sehat. Mengingat umur yang hampir setengah abad.
Gemuk atau obesitas bagi sebagian orang dianggap momok. Khususnya kaum perempuan. Makanya, obat atau suplemen, yang bisa mencegah obesitas belakangan kian diburu dan dicari. Beberapa tahun lalu, sempat populer OCD. Yakni “Obsessive Corbuzier Diet”. Diet ala Deddy Corbuzier. Publik, khususnya kaum perempuan, sempat tersihir dengan OCD. Salah satunya karena melihat keberhasilan Deddy dalam mengubah tubuhnya dari agak gemuk menjadi atletis.
Saat itu seminar atau pun buku yang mengulas tentang OCD laris-manis. Seminar tentang OCD di beberapa kota dibanjiri peserta. Padahal, waktu itu setiap peserta harus membayar Rp 500 ribu agar bisa ikut seminar tersebut. Penerbit buku Bhuana Ilmu Populer (BIP), anak usaha Grup Gramedia, ketiban rezeki. Ketika BIP menerbitkan buku yang mengulas tentang OCD, langsung best seller. Bahkan sampai dicetak ulang berkali-kali.
Jadi, pasar untuk apa pun produk, mulai dari obat, suplemen, seminar, atau pun buku, yang narasinya untuk mencegah obesitas, sepertinya semakin besar. Apalagi, merujuk pada catatan Euromonitor dalam laporannya bertajuk “Consumer Lifestyle in Indonesia 2013” disebutkan bahwa tingkat obesitas di Indonesia pada tahun itu meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2010. Diperkirakan, akan terus meningkat setiap tahunnya.
Karena menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), terus meningkatnya tren obesitas itu karena dipengaruhi oleh gaya konsumsi yang justeru semakin banyak menawarkan jenis makanan berkalori tinggi karena komposisi lemak, garam dan gula yang tinggi. Ini lah yang memicu obesitas.
Maka, selama ada orang-orang yang takut dengan kegemukan atau obesitas, maka produk barang atau pun jasa yang menjanjikan mencegah obesitas atau menurunkan berat badan, akan selalu diburu, dicari dan dibeli.
Fenomena pemasaran produk makanan dikaitkan dengan kesehatan, bukan lah hal yang baru. Penyebab utama keberhasilan fenomena ini adalah adanya motivator utama yang disebut: “marketing by fear”. Maksudnya, rasa takut adalah pemicu klasik yang membuat aneka produk menjadi laris. Fitrahnya manusia itu memiliki kebiasaan menghindar dari rasa takut.
Dalam setiap produk barang dan jasa akan selalu ada elemen motivator rasa takut. Bila ingin sukses menjual produk, Anda harus menemukan motivator ini lebih dulu. Lalu memolesnya menjadi faktor sukses.
Pada sebagian masyarakat, rasa takut ini begitu kompetitifnya. Bahkan, tak jarang malah menjadi “budaya” tersendiri. Di Singapura, ada istilah populer yang disebut “kiasu”. Ini adalah sebutan bagi orang-orang yang selalu takut ketinggalan.
Jika ada supermarket yang sedang punya program “sale” atau menjual barang-barang dengan harga murah, lalu diserbu pengunjung, motif dari pengunjung untuk menyerbu bukan semata-mata karena harganya murah. Melainkan dipicu oleh rasa takut terhadap hidup boros dan tak berhemat. Seringkali ini adalah motivator aslinya.
Begitu pula ketika kita sengaja memakai barang-barang bermerek. Misalnya arloji, baju, sepatu, tas atau mobil mewah. Seringkali itu dilakukan bukannya ingin pamer. Melainkan (motif utamanya) karena takut dicap ketinggalan zaman dan dianggap tak mengerti trend. Betulkah seperti ini? Tanyakan pada hati kita masing-masing. Asal jangan bertanya kepada rumput yang bergoyang. Jadi, betapa dahsyatnya dampak dari “marketing by fear”. Bagaimana menurut Anda? (kritik dan saran:ibnuisrofam@gmail.com/IG:kum_jp)